SANGIHE.Identitasnews.id – Penolakan terhadap beroperasinya PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) sudah di sampaikan oleh berbagai kelompok masyarakat baik secara pribadi maupun organisasi termasuk juga dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe kepada pemerintah pusat jauh sebelum dikeluarkannya ijin dari PT. TMS, sudah pernah disampaikan sebagaimana dalam release Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kamis (17/06/2021)
Dalam release tersebut disebutkan bahwa kewenangan dalam hal ijin pengelolaan tambang pada prinsipnya ada pada Pemerintah Pusat. Dan wilayah Sangihe dalam kesatuan negara otomatis masuk juga ke dalam batas-batas kewenangan tersebut. Bupati dalam mengambil sikap harus menyeimbangkan antara Pimpinan Pemerintahan dan keterwakilan sebagai masyarakat Sangihe.
Penolakan secara pribadi itu masuk dalam wilayah kapasitas dari Bupati selaku orang yang dituakan di Kabupaten Kepulauan Sangihe, namun dari prinsip bernegara karena negara ini diatur secara utuh sehingga pemerintah daerah harus tetap mengawal keputusan dari Pemerintah Pusat terkait dengan wilayah pertambangan karena batas-batas kewenangannya.
Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana, SE, ME mengatakan bahwa Pemerintah Sangihe dan khususnya saya secara pribadi sudah menolak adanya operasi PT. Tambang Mas Sangihe dari sebelum ijin keluar.
“Sikap penolakan ini dibuktikan sejak awal tahun 2018, dengan adanya rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kabupaten Kepulauan Sangihe kepada Bupati Kepulauan Sangihe nomor 050/28/63 tanggal 10 Januari 2018 terhadap permohonan dari Direktur PT. Tambang Mas Sangihe untuk diterbitkannya rekomendasi Bupati tentang kesesuaian ruang kegiatan pertambangan. Hal Itu juga dapat dibuktikan dengan AMDAL, itu tidak keluar dari Kabupaten, padahal itu kewenangan Kabupaten. Mereka urus, kami tidak tau dari mana, sehingga ijin itu keluar.” Kata JEG sapaan akrab bupati.
Bupati menambahkan disamping itu sikap pemda yang menolak sejak ijin belum keluar yaitu dalam kapasitas untuk melakukan pengawalan terkait dengan lingkungan hidup, sehingga dengan keberpihakan kami dalam hal menjaga kelestarian dan kesinambungan hidup di Sangihe, maka meminta adanya pertimbangan kembali terkait dengan ijin PT. TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe, melalui surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor 660.3/24/2345 Tanggal 22 September 2020 Perihal Peninjauan Kembali Prosedur Penyusunan dan Penilaian Dokumen AMDAL PT. Tambang Mas Sangihe.”
“Jadi sikap menolak selaku Pemerintah Daerah sudah dilakukan dari awal ketika ijin itu berproses bukan ketika ijin operasi keluar baru menolak. Tetapi ketika persetujuan ijin ini keluar dari Pemerintah Pusat, walaupun itu tidak direkomendasikan oleh Pemerintah Kabupaten, ya mau tidak mau Pemerintah Daerah harus tunduk kepada Pemerintah Pusat, Karena hal Itu diatur oleh Undang-undang. Disitulah letak persoalannya. ”
Dari statement di atas dapat diketahui bahwa Bupati bukan orang yang tidak konsisten dengan keberpihakan kepada masyarakat atau kepada keputusan Pemerintah Pusat, akan tetapi Bupati harus memilah antara kewajiban selaku masyarakat Sangihe dan kewajiban selaku penyelenggara pemerintah di daerah untuk kesinambungan penyelenggaraan Pemerintahan.
Pada prinsipnya Pimpinan Daerah yang memahami penyelenggaraan pemerintahan, bisa memilah arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan bagaimana kita bersikap selaku masyarakat yang nantinya akan mengawal daerah kita.
Bupati sebagai pimpinan daerah bukan tidak berpihak kepada rakyat tetapi pada kenyataannya harus memilah dimana kapasitasnya sebagai penyelenggara negara atau sebagai bagian dari masyarakat yang ada di daerah ini, Sehingga arif dan bijaksana apabila kita melihat dari kacamata terkait posisi seseorang.
“Kita tidak bisa menjudge seseorang dari cara pandang kita. Kita harus melihat dari keberadaannya,” ujar bupati.
Memang disadari bahwa Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan wilayah yang tidak cukup luas, jadi berdasarkan UU nomor 1 tahun 2014 terkait dengan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luasan di bawah 2.000 km2, sehingga Kabupaten kepulauan Sangihe dengan luasan sebesar 736,98 Km2 merupakan wilayah pulau kecil yang tidak diprioritaskan sebagai lokasi pertambangan.
Dan itu bisa menjadi pijakan dari rakyat Sangihe untuk bermohon kepada pemerintah pusat untuk bisa melakukan kajian dan peninjauan kembali terkait dengan izin pertambangan yang sudah keluar. Sebaliknya dari Pemerintah Daerah tidak bisa langsung menyampaikan permohonan tersebut karena terbentur dengan adanya Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
Artinya pemerintah daerah harus konsisten antara aturan yang dibuat dengan apa yang dilakukan. Jangan sampai ada benturan terkait dengan sikap Kepala Daerah dengan aturan perundang-undangan yang berlaku serta diterbitkan di daerah ini. Dimana dalam Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2014 dinyatakan bahwa wilayah selatan itu memang direkomendasikan sebagai wilayah pertambangan namun harus dilakukan secara selektif dan terbatas.
Kalau kita merujuk dari sejarah pengelolaan tambang di Kabupaten Kepulauan Sangihe dari tahun 80-an sudah ada penambang-penambang rakyat yang melakukan kegiatan pertambangan, sehingga dengan diterbitkannya Perda N04 Tahun 2014 menjadi acuan bagi masyarakat yang melakukan pertambangan di wilayah yang telah ditentukan sebagai wilayah pertambangan, dalam catatan, itu harus dilakukan secara selektif dan terbatas, artinya fungsi pengelolaan lingkungan itu harus betul-betul dikawal secara komprehensif.
Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah, terlebih Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana, SE, ME tetaplah berpihak kepada masyarakat dan memikirkan kesejahteraan masyarakatnya, tetapi harus tetap mengikuti aturan perundang-undangan yang mengatur untuk keberlangsungan jalannya Pemerintahan yang baik di Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang kita cintai.(jl)