(Oleh: Renata Ticonuwu,STh)
Ketika Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan 10 Kota Terkotor, yang didalamnya termasuk Kota Manado, kategori Kota Besar bersama Bandar Lampung, kontan saja sejumlah atau lebih tepat segelintir orang, langsung bereaksi mencibir pemerintah kota Manado yang dipimpin Walikota GS Vecky Lumentut dan Wakil Walikota Mor Bastian.
Bahkan nada sumbang pun langsung ditujukan kepada para ‘tukang sapu jalan’ dan ‘tukang angkut sampah’ sebagai petugas kebersihan.
Cibiran yang cendrung negatif dan provokatif langsung menjadi viral dalam ‘medsos’. Viralnya nyaris mengalahkan predikat penilaian Manado Kota Cerdas 2018 oleh Indeks Kota Cerdas Indonesian (IKCI) dengan menggunakan lingkup penilaian berdasarkan model Smart City Wheel, Boy Cohen (Ahli strategi perkotaan dan iklim).
Berbagai pendapat dengan kacamata subyektivitas langsung mengecam para penanggungjawab kebersihan kota. Dan dari nada ‘kritikan’ yang muncul, nampak sekali unsur ketidak senangan terhadap Pemerintah Kota. Bahkan, ada yang disinyalir bernada politis dalam rangka kepentingan politik tertentu.
Mencermati masalah tersebut, tidak ada salahnya kita kembali melihat titik persoalan dengan pemikiran obyektif yang tidak ada muatan politis dan negatif, agar masalah penilaian ‘Manado Kota Kotor’ tidak menjadi hoax merugikan orang Manado itu sendiri.
Semua orang Manado menginginkan jika kota yang dibanggakan masyarakat Kawanua ini, semakin maju dengan masyarakat makmur dan sejahtera. Namun, kemajuan, makmur dan sejahtera tidak akan terjadi jika upaya pembangunan menuju Manado yang baik, diobok-obok terus. Walhasil, ekonomi, pembangunan dan kemajuan Manado akan terbengkalai. Diantaranya, para turis akan merasa enggan untuk berpariwisata di Manado dan tak ada investoryang mau membuka usaha di kota ini. Padahal, masyarakat sejahtera tak terlepas dari terbukanya lapangan kerja dan perputaran ekonomi yang stabil dan baik.
Penilaian Manado Kota Kotor bermula dari penilaian KLHK untuk memberikan penghargaan Adipura Tahun 2018 kepada daerah ataukota yang berhak mendapatkannya. Dan menurut Rosa Vivien, Dirjen Pengolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK, penilaian penting ada pada pengelolaan tempat pemprosesan akhir (TPA) terhadap sampah yang dikumpulkan. Kotayang masih melakukan pengelolaan TPA dengan sistem open dumping atau pembuangan terbuka, kata Rosa Vivien, tidak akan
diberikan penghargaan Adipura. “Undang-undang kan memandatkan (TPA) sanitary land fill, tapi kami masih melangkah dengan controlled land9ll. Kalau TPA masih open dumping tidak kami berikan Adipura,” kata dia (mengutip kembali dari berita Kompas).
Nah, Kota Manado termasuk dalam daftar pengelolaan TPA menggunakan sistem open dumping. Rosa mengatakan pula, undang-undang dalam pengelolaan sampah di TPA memandatkan sistem Sanitary Landfill. Meskipun, sekarang ini pada umumnya menggunakan dengan sistem Controlled Land fill.
Dilema yang terjadi bagi pemerintah kota Manado dalam pengelolaan TPA untuk ditingkatkan dari sistem open dumping ke sanitary land9ll dan controlled land fill, masih dalam proses. Kesulitannya adalah TPA Sumompo sudah tidak layak lagi untuk digunakan. Karena sudah menjadi ‘bukit sampah’ akibat sampah banjir bandang yang melanda Kota Manado, Tahun 2014. Seusai bencana banjir, Manado ditimbuni berbagai jenis sampah. Dan upaya membersihkan Kota Manado, semua sampah diangkut ke TPA Sumompo.
Akibat timbunan sampah yang ada di TPA tersebut, mengakibatkan Sistem Sanitary Land Fill maupun Controlled Land9ll, tidak dapat lagi diterapkan di Sumompo. Untuk diketahui Sistem Sanitary Land Fill, yakni sampah yang dibuang di TPA, ditimbun atau ditutup dengan tanah dengan sistimnya lebih canggih dari Controlled Land9ll (sampah dipadatkan dan ditimbun dengan tanah). Lokasi TPA yang cocok untuk kedua sistem ini adalah lahan yang berlembah atau yang rata. Persoalannya Sumompo sudah menjadi bukit sampah. Pemerintah Kota menyadari hal itu, sehingga sejak Tahun 2016 Walikota Manado, DR GS Vicky Lumentut menyampaikan kepada berbagai media bahwa Manado tidak akan dapat lagi mendapatkan penghargaan Adipura. Hal itu sehubungan dengan penilaian Kementrian LHK, sistem Open Dumping tidak akan diberikan penghargaan Adipura.
Namun, apa boleh buat dalam penanggulangan sampah di TPA Sumompo tetap harus berjalan meski dengan sistem Open Dumping.Sekarang, bagaimana pendapat atau penilaian Manado Kota Kotor ?
Saya ingin mengajak kita untuk melihat dengan kacamata obyektif. Benarkah Manado adalah Kota Terkotor ? Ok barangkali ada yang membandingkan dengan kota-kota lainnya.
Jika ada yang senang bepergian atau hobby traveling, maka jika kita mau jujur, pasti di kota-kota manapun ‘lebih khusus di negara
kita ini’ akan menjumpai tumpukan sampah, selokan tersumbat, makanan kurang higenis, pemukiman kumuh, dan sebagainya.
Di Manado sulit kita menjumpai hal tersebut. Ada foto yang dikirimkan seseorang di Face Book, tapi yang dikirimkan adalah fototumpukan sampah di TPA Medan (Kota Besar Terkotor menurut penilaian Kementrian KLHK) yang direkayasa seakan tumpukan sampah itu di Manado.
Di Ibukota Propinsi Sulawesi Utara tersebut, kebersihan menjadi skala prioritas program bagi Pemerintah Kota Manado.
Berjalan bersama dengan program Pemkot Manado menciptakan masyarakat yang rukun dan toleran dengan slogan masyarakat Manado yang rukun dan bersih (seperti yang selalu disuarakan FKUB Kota Manado). Sehingga oleh Setara Institut yang bekerjasama dengan Kemendagri dan Kemenag RI memberikan penghargaan Manado Kota Paling Toleran baik di Tahun 2017 dan Tahun 2018.
Upaya Pemerintah Kota untuk membuat Manado adalah Kota Bersihselalu diupayakan. Dan semua masyarakat Manado tahu persis, kerja keras dari para penyapu jalan, semangat para pengangkut sampah dari tingkat lingkungan sampai diangkut truk sampah ke TPA Sumompo. Pemerintah kota, memberika gaji yang pantas bagi para pekerja kebersihan kota ini.
MOTOR SAMPAH
Dari data yang ada, sewaktu masyarakat mengeluh karena bau busuk dan joroknya tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Kelurahan, maka Pemerintah Kota mengatasinya dengan menghilangkan semua TPS dan diganti dengan motor sampah. Setiap lingkungan diberikan satu motor sampah. Operasi motor sampah langsung menjemput sampah di rumah-rumah penduduk. Sehingga, masyarakat melihat langsung bahwa Kota Manado sejak tahun 2017, jauh lebih bersih dibandingkan ketika mendapatkan penghargaan Adipura.
Untuk diketahui penilaian Adipura hanya ditempat-tempat tertentu saja. Namun untuk Manado sejak Tahun 2017, gerakan kebersihan kota dilakukan secara serentak di 504 lingkungan di Kota Manado. Dan kontrol pemerintah kota untuk gerakan kebersihan dari setiap lingkungan dilakukan terus. Jika ada lingkungan yang mengabaikannya, maka kebijakan Walikota adalah mengevaluasi dengan tidak segan-segan mengganti Kepala Lingkungan.
Nah, alangkah naifnya jika ada tudingan kepada kaum rakyat kecil ini (Kepala Lingkungan, tukang angkat sampah, tukang ‘sosapu’ jalan), yang setiap hari bergelut dengan sampah kotor untuk menghidupi keluarganya.
Ataupun sungguh ironis menuding negatif kepada Pemerintah Kota saat adanya penilaian Kota Kotor dari KLHK. Padahal, Dirjen Rosa Vivien menjelaskan bahwa penilaian Kota Kotor itu, paling utama adalah cara pengelolaan sampah di TPA.
Arti kata, kota kotor oleh Kementrian KLHK bukan dinilai dengan banyaknya sampah berseleweran di jalan-jalan. Barangkali kalau penilaian tolak ukurnya adalah sampah-sampah yang semerawut di suatu kota, pasti Manado tidak akan dinilai sebegai kota kotor, malahan akan mendapat penghargaan Kota Bersih.
Sebab, banyak orang yang datang termasuk para tamu dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) daerah lain yang ketika melaksanakan studi komperatif dengan FKUB Manado, selalu memuji Kota Manado. Mereka selalu menilai bahwa Manado benar-benar adalah Kota Rukun dan kota yang bersih.Akhirnya dengan hebohnya Manado Kota Terkotor, biarlah menjadi ‘PR’ bagi Pemerintah Kota serta ‘PR’ bagi seluruh masyarakat Manado untuk turut menjaga dan mengawal kebersihan kota kita. Dan menjadi perhatian bagi kita semua, lewat masalah ini agar selalu melihat setiap persoalan yang ada dengan obyektivitas yang positiif, bukan dengan ‘negatif thinking’ apalagi jika sudah ada muatan politis yang subyektif. Hal itu akan menjadi kerugian bersama alias tidak menguntungkan bagi rakyat Manado.
Stop jo bakucungkel !!!Jadi menurut hemat saya, kebersihan kota adalah juga tugas kita sebagai bagian dari masyarakat Kota Manado. Untuk itu ‘mari torang semua’ turut menjaga kebersihan kota kita, dengan secara aktif membersihkan lingkungan kita masing-masing. Obyektif bukan? Sebab, coba kita amati bersama. Di saat pagi hari jalan-jalan di Manado bersih, sebab ‘tukang basosapu’ sudah menyapu jalan meski hujan rintik-rintik dan udara dingin di pagi hari. Siang hari sudah ada sampah lagi, plastik, bekas minuman ‘aqua’, dsb. Siapa yang mengotorinya ? Jawaban yakni oknum masyarakat yang seenaknya membuang sampah di sembarang tempat. Mental masyarakatpun harus diubah. Kembali kepada masyarakat bukan? Tapi kita harus optimis…optimis dan optimis (bukan ikut-ikutan Presiden Jokowi ketika berpidato di depan mahasiswa UI, kata optimis sampai 9 kali..) bahwa Kota Manado tetap disukai, dicintai dan menjadi barometer bagi warga lainnya untuk bertandang ke kota ini. Melihat panoramanya, bunakennya, kulinernya, kerukunan dan toleransinya, bubur manadonya, senyuman masyarakatnya, dsb.
Dan Puji Tuhan, hingga kini ada suatu kebanggan bahwa Manado tetap dinilai sebagai Kota Cerdas, Kota Paling Toleran, Kota Paling
Rukun, sehingga orang Manado akan sepakat untuk bersama-sama menciptakan Manado sebagai Kota Doa (seperti yang sudah dicanangkan oleh para tokoh umat beragama). Sebab, bukankah setiap permohonan Doa akan mendapatkan jawaban pasti dari Tuhan yang sudah menciptakan tanah, alam sekitar yang menjadi tumpuan kota kita. GOD BLESS Manado.
(Pendeta GMIM, Ketua FKUB Manado, Mantan Wartawan tinggal di Meras Kecamatan Bunaken)