Menganalisis Sindrom Pasca Kekuasaan: “Implikasi Psikologis di Tahun Politik 2024”
Oleh: Efraim Lengkong (Pemerhati Budaya/Sosial Politik)
Di tengah sorotan politik menjelang tahun 2024, muncul fenomena menarik yang dinamakan “Sindrom Pasca Kekuasaan.”
Post power syndrome adalah suatu kondisi psikologis yang umumnya terjadi bagi mereka yang akan dan kehilangan jabatan atau kekuasaan, dari eksekutif, legislatif, hingga pejabat swasta.
Fenomena dramatis, sindrom ini bersenyawa dari kerinduan akan kejayaan hingga imbas kesehatan mental yang mungkin terjadi.
Tahun politik ini dianggap sebagai ujian bagi demokrasi, di mana masa depan bangsa diletakkan pada hak demokrasi rakyat untuk menentukan jalannya.
Dalam kesejukan program pembangunan berkelanjutan, para calon milenial menemukan “Icon” kampanye yang melambangkan kesempatan yang diberikan.
Namun, fokus utama adalah pada munculnya generasi muda dalam dunia politik yang didukung oleh figur senior, atau yang sering disebut ‘big bro’. Prediksi menyebutkan bahwa kehadiran mereka dapat memperoleh dukungan lebih besar dari kalangan ‘millenial’ dan ‘lansia’ yang merindukan atmosfer politik yang ceria, damai, dan santun.
Sindrom Pasca Kekuasaan, seperti disebutkan, tidak sekadar berkaitan dengan kehilangan jabatan atau pekerjaan. Dalam konteks sindrom ini, “kekuasaan” mengacu pada kehilangan identitas, aktivitas yang mendukung rutinitas sehari-hari, hingga perlengkapan hidup yang mulia seperti uang duduk, mobil dinas, dan sebutan kehormatan.
Seiring kita melangkah di tahun 2024, gejala sindrom ketakutan mulai muncul dalam bentuk perilaku negatif.
‘Fitnah’ dan bahkan ‘hate speech’ tersebar luas di dunia maya maupun dunia nyata. Ini menjadi cerminan dari kepribadian yang rentan terhadap sindrom ini.
Sindrom ini tidak hanya menjangkiti mereka yang kehilangan jabatan, tetapi juga melibatkan mereka yang tengah merambah dunia politik dengan cara yang kurang konvensional. Di bawah bendera “kita_pe,” terlihat upaya untuk menggenggam kekuasaan, jabatan, hingga proyek-proyek ilegal seperti logging dan mining.
Dalam momen akhir kekuasaan, muncul pemikiran bersalah, ketakutan, dan kesepian. Gejala sindrom pasca kekuasaan ini seakan menjadi alarm bahwa adaptasi terhadap perubahan baru menjadi suatu tantangan.
Sindrom Pasca Kekuasaan, walaupun tidak dianggap penyakit jiwa yang serius, namun perlu mendapat perhatian serius. Dalam pengabaian, sindrom ini berpotensi merembet ke masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, depresi, bahkan menuju ke perjalanan ke Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang.
Dengan perjalanan panjang yang harus ditempuh di tahun politik ini, analisis mendalam mengenai Sindrom Pasca Kekuasaan menjadi esensial untuk memahami dampak psikologis dan kesehatan mental di tengah perebutan kekuasaan dan perubahan politik yang tak terelakkan.(*)