Jakarta, identitasnews.id – Sulut harus mengambil langkah kebijakan strategis terkait pengolahan lanjut kelapa dari bahan semi-jadi seperti Minyak Kelapa Kasar (MKK) menjadi produk-produk turunan minyak kelapa melalui “value-added processing”, sehingga nilai tambah dari produk jadi akan dinikmati oleh petani kelapa dan masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Wilbur Donald Reymond Pokatong, dosen dan Ketua Program Studi Teknologi Pangan, UPH, pada sesi tanya jawab ketika Gubernur Sulut Olly Dindokambey, SE, memberikan Kuliah Umum Kebangsaan yang mengangkat topik: Prospek dan Potensi Investasi Sulawesi Utara Dalam Menunjang Pembangunan Nasional, di Universitas Indonesia, Jumat (23/8/2019).
Menurut Pokatong, industri perkelapaan di Sulawesi Utara sebagai salah satu daerah penghasil kelapa terbesar di Indonesia, memiliki persoalan ekspor Minyak Kelapa Kasar (CCO) yang terus berlangsung sejak tahun 1950-an, pelaku bisnis/produsen Minyak Kelapa Kasar melakukan ekspor bahan semi jadi ini secara terus menerus tanpa perubahan teknologi.
“Hal ini terjadi sampai saat ini karena ‘margin of profit’ nya terus sangat menguntungkan serta menggiurkan, ketika ada fluktuasi harga CCO maka yang terbebani/dibebankan adalah Petani Kelapa. Merekalah (petani kelapa) yang menanggung harga kopra rendah,” ujar Pokatong.
Diakuinya, memang ada kendala jalur ekspor terlalu panjang sehingga berbiaya ekonomi tinggi seperti yang disampaikan Gubernur Sulut, namun ini juga pada ujungnya yang terbebani adalah petani kelapa itu sendiri, karena pelaku bisnis tentunya terus berusaha mempertahankan ‘margin of profit’nya.
Untuk itu, Dr. Pokatong mengusulkan agar di Sulut dilakukan juga pengolahan lanjut kelapa dari bahan semi-jadi (seperti MKK) menjadi produk-produk turunan minyak kelapa melalui “value-added processing”, sehingga nilai tambah dari produk jadi akan dinikmati oleh petani kelapa dan masyarakat.
“Langkahnya adalah Pemerintah Sulut perlu campur tangan demi kesejahteraan petani dengan mengeluarkan kebijakan membatasi ekspor Minyak Kelapa Kasar kepada produsen yang ada sekarang (misalnya saja 15% MKK tidak diekspor tapi diolah di Sulut, jumlah/persen yang pasti tentunya perlu dibahas bersama), dan wajib menerapkan teknologi pengolahan minyak kelapa (misalnya fraksionasi, produksi oleo-chemical, dll) yakni dengan membangun pabriknya di Sulawesi Utara,” katanya.
Pokatong menjelaskan, sebenarnya ini bukan hal yang baru bahwa value-added processing harus dilakukan di Indonesia, contohnya dulu rotan dilarang ekspor, yang diekspor harus produk turunan sehingga nilai tambahnya untuk rakyat Indonesia.
Contoh lain yang lebih baru adalah Pemerintah mewajibkan pembangunan Smelter untuk bisnis pertambangan yakni tidak mengekspor bahan baku.
“Untuk kesejahteraan rakyat dari petani kelapa pemerintah perlu campur tangan via kebijakan yang tentunya harus win-win benefit (antara petani dan pengusaha). Intinya, disamping hal-hal teknis yang harus dipersiapkan, ada hal utama yakni “political will” dari pemerintah untuk berpihak pada kesejahteraan petani kelapa dan tentunya masyarakat Sulawesi Utara,” jelas Pokatong. (***/#70)