Manado, identitasnews.id – Putusan Banding Pengadilan Tinggi (PT) Manado memvonis delapan tahun penjara Mantan Direktur PDAM Kota Bitung Raymond Luntungan dengan nomor 3/Pid.SUS-TPK/2023/PT MND ini, terkait perkara dugaan korupsi hibah air minum di PDAM Duasudara Kota Bitung tahun anggaran 2017, ditanggapi kuasa hukum Raymond Luntungan, Soeharto Sulengkampung SH.
Kuasa hukum Raymond Luntungan, Soeharto Sulengkampung SH, dalam keterangan pers mengatakan bahwa sejak awal mereka sudah menduga bahwa, kesaksian dari Hendrie Joudi Palar, ST, MPSDA kapasitasnya diragukan.
Saksi ahli dari Politeknik Manado ini saat melakukan pengecekan/ perhitungan Idle capasity di PDAM Bitung hanya mengunakan teknologi bola apung (pimpong) yang mana penggunaan metode bola apung untuk menghitung kelebihan air atau air yang menganggur (idle capacity) saat ini sudah tidak dipakai atau digunakan di seluruh PDAM se Indonesia.
Kesaksian Hendrie Palar yang di nilai keluarga Raymond Luntungan mengada ada, meragukan bahkan terkesan terskruktur dan dipolitisir membuat mereka melakukan pengecekan.
Mirisnya setelah dilakukan pengecekan ternyata Joudi Palar, ST, MPSDA tidak memiliki Sertifikat keahlian air atau Ahli Air.
“Dia memang sarjana teknik sipil jurusan konstruksi pengairan, tapi bukan ahli air” , ahli kontruksi air beda dengan ahli air terang Soeharto.
Kesaksian Hendrie Palar, berbeda jauh dengan kesaksian dari ahli air H. Awaludin Setya Aji, S.T., M.Eng., IPM saat menghitung Idle capasity di PDAM Bitung, dosen tetap AKATIRTA, Yayasan Pendidikan Tirta Dharma PAMSI, Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) Jakarta, ini mengunakan teknologi ‘Metode Current Meter’ dan ‘Ultrasonic Flowmeter’ dalam mengukur debit air untuk menentukan ada tidaknya Idle Capasity.
Tehnologi ini digunakan diseluruh PAM yang ada di Indonesia termasuk di negara negara maju di dunia.
H. Awaludin Setya Aji, S.T., M.Eng. IPM, dalam memberikan kesaksian ahli mengatakan, bahwa ‘teknologi bola apung yang digunakan Hendrie Joudi Palar dalam mengukur/menghitung Idle Capacity saat ini sudah tidak di pakai/digunakan diseluruh PDAM di Indonesia bahkan diluar negeri’, karena sistim teknologi bola apung (pimpong) yang digunakan oleh Hendrie Joudi Palar dalam menghitung Idle capasity tingkat akurasinya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Diketahui bahwa sejak awal penyidik krimsus polda sulut dan jaksa penuntut umum (JPU) dalam menjerat terdakwa “bersikeras” menggunakan keterangan ahli dari Politenik Manado, Hendrie Joudi Palar, ST, MPSDA yang menerangkan bahwa PDAM Bitung tidak memiliki idle capacity (air yang menganggur) ‘kelebihan air untuk disalurkan’
Begitu juga keterangan dari BPKP yang menyimpulkan bahwa telah terjadi total loss, di PDAM Kota Bitung, karena tidak ada Idle Capacity hanya mengikuti atau mengcopy dari pendapat ahli Hendrie Joudi Palar, ST, MPSDA dosen Politeknik Manado.
Buntut dari kesaksian Hendrie Palar yang mengaku ahli air dari Poli Teknik Manado saat ini masih berkepanjangan dan meminta korban.
Hal ini nampak dengan masih adanya sidang tipikor, ‘Ades Ambis’ no 1/Pid.Sus.TPK/2023 Selasa (04/04/2023) di PN Manado. Perkara ini masih bertalian dengan perkara Nomor : 20/Pid.Sus-TPK/2022/PN.Mnd Raymond Luntungan.
Anehnya dalam sidang tipikor ‘Ades Ambis’, Hendri Palar selalu mangkir dalam persidangan untuk mempertanggung jawaban kesaksian ahlinya pada penyidik tipokor polda sulut, dengan alasan yang tidak jelas.
Ketidak hadiran Hendrie dalam sidang tipikor, menurut Soeharto, akibat adanya laporan polisi dari terpidana Raymond lewat kuasa hukum Vebry Tri Hariady SH pada 28 Desember 2022, no laporan LP/B/675/XII/2020/SPKT/POLDA SULUT, ” tentang peristiwa dugaan memberikan keterangan palsu.
“Setelah di investigasi, kuat dugaan bahwa Hendrie telah memalsukan surat persetujuan dari Direktur Politeknik Manado,” perbuatan Hendrie yang bukan ahli air mengaku ahli membuat korban dan keluarga diterpa nestapa terang Soeharto, kepada sejumlah awak media.
Sebelumnya, di Pengadilan Tipikor PN Manado Selasa (6/12/2023), terdakwa Raymond Luntungan divonis 10 tahun penjara dan juga dijatuhi hukuman membayar uang pengganti sebesar Rp14 miliar subsider empat tahun, dan denda Rp 500 juta subsider empat bulan.
Atas vonis itu, kuasa hukum Raymond menyatakan banding. (*)