Penulis: Efraim Lengkong Kabid Hukum dan Advokasi, Panca Mandala Mapalus Sulawesi Utara Jejaring BPIP-RI
abstract’
Dalam rangka menghindari terjadinya, ‘Peradilan Sesat’, Perlu di Terapkan ‘The Military Way’ bagi hakim minimal 3 (tiga bulan) secara bergantian di AKMIL Magelang.
Pemahaman Pancasila perlu untuk dijiwai dan dimaknai, bagi setiap hakim yang diberikan kewenangan independen dalam memutuskan. Adil, siap berkorban jiwa dan raga untuk bangsa dan negara, siap untuk membela kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia demi keadilan tanpa pamrih.
FAILED STATE’, Dengan tertangkapnya hakim-hakim penerima suap, maka Indonesia dinilai sebagai ‘Negara gagal’ (Failed State),” dibidang penerapan hukum.
DI AWAL 2023 bangsa Indonesia diguncang, KPK menangkap (dua) 2 hakim agung terkait kasus suap jual beli perkara, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh. Ditambah 3 hakim dan 4 PNS-nya.
Sebelumnya sudah banyak hakim-hakim yang tertangkap diantaranya RA Harini Wijoso (mantan hakim PT Yogyakarta), Syarifuddin Umar (hakim PN Jakarta Pusat), Ibrahim (hakim PTUN Jakarta), Imas Dianasari (hakim ad-hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung), Heru Kisbandono (hakim Pengadilan Tipikor Pontianak), Kartini Marpaung (hakim Tipikor Semarang), Setyabudi Tejocahyono (Wakil Ketua PN Bandung), Ramlan Comel (hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung), Pasti Serefina Sinaga (hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Bandung), Asmadinata (hakim PN Semarang), Pragsono (hakim PN Semarang), Akil Mochtar (hakim konstitusi, Ketua MK), Tripeni Irianto Putro (Ketua PTUN Medan), Amir Fauzi (hakim PTUN Medan), Dermawan Ginting (hakim PTUN Medan), Janner Purba (hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu), Toton (hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu), Patrialis Akbar (hakim konstitusi), Dewi Suryana (hakim PN Bengkulu), Sudiwardono (hakim PT Manado), Wahyu Widya Nurfitri (hakim PN Tangerang), Merry Purba (hakim ad hoc Tipikor Medan), Wahyu Widodo (hakim PN Jaksel), Irwan (hakim PN Jaksel)
Pada 24 Juli 2024, Ketua Hakim Erintuah Damanik dan hakim anggota, Mangapul, Heru Hanindyo’, memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur terpidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dari Dini Sera Afrianti (28) alias Andini yang mati akibat dianiaya berkali-kali oleh pelaku, Gregorius Ronald Tannur (31). Sisi gelap dari vonis bebas tersebut, kini mulai terungkap.
Kejaksaan Agung menetapkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar (ZR) sebagai tersangka ‘makelar kasus’ (MarKus) untuk mengurus kasasi kasus Ronald Tannur.
Penangkapan tersebut merupakan pengembangan dari penyidikan kasus dugaan suap terhadap 3 (tiga) Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur.
Hulu dari kasus suap perkara Gregorius Ronald Tannur di PN Surabaya akhirnya bermuara di Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13. Jakarta Pusat.
Dengan diciduknya Zarof di Jimbaran, Badung, Bali, pada Kamis (24/10) lalu, menambah deretan panjang hakim – hakim yang ditangkap.
Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang tunai senilai hampir Rp 1 triliun Rp920.912.303.714 dan logam mulia dan Sertifikat diamond yang kalau dikonversikan setara dengan Rp75 miliar. Milik mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemufakatan jahat suap dalam kasasi terdakwa Ronald Tannur.
Dalam pemeriksaan, Zarof Ricar mengaku bahwa uang-uang tersebut juga berasal dari ketika yang bersangkutan menjadi makelar pengurusan perkara di MA dari tahun 2012–2022.
Selain uang dari hasil pemufakatan jahat, Zarof Ricar sewaktu masih menjabat sebagai Kepala Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
(Balitbang Diklat Kumdil MA) dirinya menerima gratifikasi pengurusan perkara-perkara di MA dalam bentuk uang.
Dalam pemikiran penulis, jika 1(satu) Hakim agung ditemukan uang sebesar itu, dapat kita bayangkan berapa triliun uang yang beredar di Mahkamah Agung…?
Rabu 30 Oktober 2024 Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menetapkan Panitera Pengadilan Tinggi Banten Rina Pertiwi (RP) sebagai tersangka penerima suap sebesar 1miliar rupiah terkait eksekusi tanah sitaan milik PT Pertamina (Persero). Pelaku menerima suap saat masih menjabat sebagai Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 2020-2022. Dan menahan Rina Pertiwi.
Pengalaman penulis, dalam mengurus Perkara No2939 K/Pdt/2024 Jo. No 88/Pdt.G/2022/PN Bit
Penulis pernah dipertemukan dengan seorang yang mengaku Panitra MA berinisial Abang. Menurut dia bahwa perkara kasasi di MA yang akan memeriksa adalah mereka (Panitra) bukan Hakim yang ditunjuk. Hakim tinggal mengikuti dan bertanya kemudian mengadili sendiri dan memutuskan.
Hal ini masuk dalam logika penulis seperti apa yang ia katakan, “Setiap hari ada ratusan ‘memori kasasi yang masuk”.
2 (dua) bulan sebelum penulis menerima relas pemberitahuan, (22/10-2022), saya di hubungi beberapa kali dengan orang yang mengaku panitera MA untuk memintakan uang tapi penulis menolak.
Dan dia langsung mengatakan, yaa kalau bapak tidak sanggup bapak pasti kalah. “Tidak ada yang gratis di Mahkamah Agung” Semua dihitung dari berapa besarnya volume harga yang diperkarakan”, kata dia.
Analisa penulis, kalau memang mereka bukan orang dalam MA, dari mana mereka dapatkan info No Perkara, termasuk nama nama Hakim pemeriksa dan Panitra pengganti yang ditunjuk.
Juga hasil musyawarah Hakim, format pdf putusan yang belum ditandatangani.
Sambil menunggu down payment (“DP”) dan SPH debitur, baru putusan yang dimaksud ditandatangani, katanya.
Tidak mampu memenuhi permintaan ‘Sang Gurita Suap’, penulis sadar, bahwa kasasi akan ditolak.
Hal ini didasari tafsir penulis bahwa orang-orang itu, termasuk salah satu dari delapan lengan Gurita suap
TRAGEDI KEMATIAN ANDINI (Dini Sera Afrianti) menjadi salah satu anak kunci terbukanya ‘Kotak Pandora’, yang berisi ‘roh gurita’.
Pandora yang tampak berharga namun sebenarnya berisi kutukan bagi ‘hakim dan panitera nakal’, di Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) terlebih di Mahkamah Agung.
Gambar dewi Themis (dewi Keadilan) yang menjadi simbol keadilan kebijaksanaan dan kejujuran di dunia pengadilan, sebagai representasi peraturan sosial, berdiri atas proyeksi hati nurani, hukum, atau kebiasaan yang benar.
Dewi keadilan dengan timbangan miring, menurut penulis dapat diartikan suatu ketidakadilan. Tangan kanan terangkat ke atas, dan tangan kiri terjurai terbuka kebawah, dapat diartikan sebagai tangan penerima suap’.
KELENTURAN ‘GURITA SUAP’ Mengalahkan Nurani Keadilan.
Fenomena penerapan hukum, terkait Perkara Nomor 88/Pdt.G/2022/PN Bit.
Dimana penulis yang tidak pernah bersekolah hukum, dipaksakan oleh situasi dan kondisi untuk menggugat hak-hak ahli waris di PN Bitung.
Dalam perjalanan mengikuti persidangan penulis sangat terkejut melihat situasi didalam ruangan sidang. Majelis sidang yang kebetulan ketiganya perempuan di saat persidangan nampak hanya saling bercerita, main hp bahkan sekali kali kelihatan tidur, dan terkesan tidak memperdulikan apa yang disampaikan kuasa hukum masing-masing pihak.
Ada sesuatu yang dialami penulis, saat datang menghadiri sidang putusan PN Bitung Sulawesi Utara, sambil menunggu sidang putusan dimulai, saya dihampiri oleh seorang pengacara senior yang tidak saya kenal, dia bertanya “Om ada urusan apa ? dan saya jawab menunggu sidang putusan, dia memandang saya dengan wajah penuh tanya ” dan berkata ”so_smerr” ? saya bingung apa maksud dari perkataan pengacara tua ini.
Lama menunggu penulis menuju kantin di samping PN Bitung dalam perjalanan menuju kantin saya berpapasan dengan seorang pengacara yang lebih muda, anehnya PH muda tersebut berkata “Om so potas pa’ dorang” ?. tanya dia dengan dialek Manado.
Sehari setelah gugatan saya di tolak majelis Hakim, saya coba mengotak atik berkas gugatan. Setelah membaca berulang ulang saya tidak mendapatkan celah kekurangan dari gugatan tersebut. Kemudian saya membaca berulang kali isi putusan, salah satu alasan hakim adalah bahwa foto copy surat hasil Laboratorium kriminalistik yang mengatakan ‘non identik’ atau terdapat tanda tangan palsu tidak dapat diterima, karena belum ada putusan pidana. Padahal fakta dalam persidangan 2 (dua) orang saksi fakta mengatakan ‘pernah melihat hasil laboratorium kriminalistik’, dan dalam dua akta hibah yang diuji ‘terdapat tanda tangan palsu’.
Hal ini menjadi bukti kesaksian bahwa benar ada hasil laboratorium forensik tersebut. Menurut tafsir penulis’, bahwa bukti surat hasil laboratorium kriminalistik sudah menjadi bukti yang “SEMPURNA”.
Polda Sulut selaku turut tergugat, entah apa yang ada dalam pikiran Direskrimum sehingga tidak mau memperlihatkan Bukti asli hasil laboratorium forensik. Menurut pihak pengacara Polda Sulut Junus SH, kepada penulis bahwa Direskrimum tidak mengijinkan untuk dibawah menjadi bukti, “Pak coba ketemu dengan pak Dir” Kata Junus.
Mirisnya 2 (dua) Hakim yang pernah 2 (dua) kali menolak permohonan pemohon praperadilan (Tsk) pada 2 (dua) Praperadilan, saat ditingkat banding,kedua Hakim tersebut mengesampingkan atau menolak apa yang mereka pernah putuskan.
Fenomena penahanan hakim, yang kian ‘massive’, menghantar penulis pada kondisi regrets, emosional, kognitif. Apakah ‘Res judicata pro veritate habetur’, sudah berubah menjadi “Sisi Gelap Dari Berkat”. Biarlah waktu yang menjawab.(*)