Penulis, Efraim Lengkong
SETELAH terperangkap dalam dinamika politik praktis sebuah parpol besar, GMIM akhirnya harus menerima semua konsekuensi atas godaan politik praktis.
Sejatinya Teologi GMIM mempelajari, nilai-nilai ketuhanan, dan hubungannya dengan manusia.
GMIM memiliki akar historis sejak Zendling pertama Josef Kam — guru Johan Gottlied Schwarz dan Johan Fredrik Riedel, dari Nederland Zendling Genootschao(NZG) Rotterdam — datang ke Minahasa 1817 sebagai perutusan NZG atau Apostel der Minahasse.
Menyusul kedua murid, Muller dan Lammers, pada 1817, Riedel dan Schwarzt pada 1831, membawa misi penginjilan(zendling) di Tondano dan Langowan dengan berpedoman pada ajaran Teologi Pietisme (protestanisme yang menekankan pada kesalehan pribadi, penghayatan iman, dan kehidupan Kristen yang kudus).
Dibarengi doktrin: Penekanan pada Kesalehan dan kebaktian dalam kehidupan sehari-hari (social piety) juga ungkapan diakonia dari gereja yang merupakan suara Yesus Kristus untuk menolong sesama yang membutuhkan.
Termasuk didalamnya Pelsus sebagai orang-orang yang taat akan firman Tuhan dan di panggil untuk memberi teladan dalam kehidupan berjemaat.
Pembaharuan hidup dan moralitas, serta pentingnya hubungan yang intim dengan Tuhan.
Di bawah kepemimpinan,
Pdt Hein Arina ThD, GMIM
terperangkap dan hanyut dalam pusaran arus dinamika politik praktis dari sebuah Partai politik besar, dan akhirnya harus menerima semua konsekuensi atas godaan politik praktis, yang berujung pada “mamon”
Dalam konteks teologi, konsep “mamon” diacu sebagai gerakan politik sekuler, seringkali digunakan untuk menggambarkan kuasa uang dan materialisme yang dapat menyesatkan dan merusak integritas iman.
Padahal injil Matius 6:24, jelas menjadi pedoman bagi kita, bahwa: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua Tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”
Konsekuensi, dari mengabdi pada dua tuan, Polda Sulawesi Utara sudah menahan empat dari lima tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Pemprov Sulut kepada Sinode Gereja Masehi Injil di Minahasa (GMIM) yang merugikan negara Rp 8,9 miliar, bahkan angka tersebut berpeluang bertambah.
Goncangan korupsi dana hibah di institusi dan aset terbesar umat Kristen di Sulut, GMIM sejak akhir tahun 2024 dan di awal 2025 yang sangat memiriskan umat dan institusi.
Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) sebagai institusi keagamaan kuat, besar dan mengakar, memiliki peran penting dalam masyarakat, tentunya tidak luput dari berbagai tantangan dan pergulatan internal umat dan dinamika eksternal umat.
Hal ini menjadi daya tarik ranun bagi partai politik yang berkuasa untuk membeli kuda tunggangan guna ditunggangi dalam perjudian perpolitikan.
Masuknya politik dan kroni kroninya ke dalam institusi gereja (GMIM) tidak hanya menimbulkan kegelisahan di kalangan jemaat, tetapi juga dipertanyakan integritas dan komitmen mereka dalam menjalankan misi gereja yang melayani dan memberdayakan masyarakat.
Bertalian dengan kasus korupsi dana hibah yang dilakukan oleh oknum pimpinan GMIM dan melibat birokrat handal yang notabene adalah kader GMIM sendiri — dapat dilihat sebagai bentuk penyembahan terhadap mamon, di mana kuasa uang dan kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada tanggung jawab dan komitmen terhadap Tuhan, jemaat dan masyarakat.
Hal ini tidak hanya merusak citra GMIM, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan jemaat dan masyarakat.
GMIM perlu melakukan evaluasi internal yang menyeluruh dan transparan untuk mengidentifikasi akar masalah dan menemukan solusi yang tepat.
Selain itu, GMIM juga perlu meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang pentingnya integritas dan transparansi di kalangan jemaat dan pimpinan.
Dengan demikian, GMIM dapat membangun kepercayaan dan kredibilitas sebagai gereja (nuhul ecclesia) yang memberdayakan dan melayani masyarakat dengan integritas dan komitmen yang kuat.
Jemaat perlu mengingatkan pada pendeta bahwa kuasa uang dan materialisme tidak boleh menjadi prioritas utama dalam pelayanan(diaken) dan kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, pimpinan dan pendeta GMIM perlu menanamkan nilai-nilai spiritual “gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, dalam kesatuan umat beriman dalam Kristus. Dan Yesus adalah kepala gereja, sedangkan jemaat adalah anggotanya.
Kasus korupsi dana hibah ini pastinya akan “membuka jalan bagi awal yang baru” pada sistem management pelayanan, pendidikan dan keuangan yang baru di Sinode GMIM.
Mengutip perkataan Filsuf Yunani Kuno Heraclitus di abad ke-6 SM, “Setiap awal selalu disertai oleh akhir, dan setiap akhir membuka jalan bagi awal yang baru.” Ungkapan ini tersirat bahwa, “dalam setiap transisi terdapat potensi pembaruan dan pertumbuhan”.
Jalan panjang menuju 91 Tahun GMIM Ber sinode 30 Sep 2025, mengisyaratkan untuk kembali melewati jalan Via Dolorosa. Agar kedepan, GMIM dapat kembali menjadi contoh bagi jemaat dan masyarakat dalam hal integritas dan komitmen terhadap Tuhan dan sesama.(*)