DI ANTARA “PATRILINEAL DAN MATRILINEAL”

MENGENAL LEBIH DEKAT, GARIS ADAT KETURUNAN ORANG MINAHASA

Penulis: Efraim Lengkong (Pemerhati Budaya/Sosial Politik)

SULUT, identitasnews.id – Suku Minahasa, dikenal menggunakan sistem garis adat ‘patrilineal’. Patrilineal adalah adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak laki-laki atau ayah.

Hal ini dibuktikan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh pasangan suami istri, menggunakan nama belakang atau lebih lazim disebut “marga’, fam (family name) dari laki-laki atau ayahnya.

Walaupun di Minahasa dikenal menganut sistem adat ‘patrilineal’, di mana perkawinan, suami adalah kepala rumah tangga, tapi bagi suku Minahasa dalam mengatur bahkan memutuskan kesemuanya, wajib hukumnya perempuan atau istri harus dilibatkan.

Bahkan dalam banyak hal bagi perempuan atau “istri” orang Minahasa, seperti contoh, pengaturan keuangan dan ‘perjodohan’ anak yang menentukan adalah perempuan atau istri.

Apalagi perempuan atau istri dari suku Minahasa sub-etnis Tonsea Minahasa Utara.

Di daerah kelahiran Pahlawan Nasional Maria Maramis Nyonya Walanda tersebut, memang sudah lama mengenal akan kesetaraan perempuan dan laki-laki “emansipasi” perempuan.

Kesetaraan perempuan sudah lama ditanamkan oleh Maria pada perempuan Minahasa dan jadi “fondasi” yang kuat bagi perempuan Minahasa, terlebih khusus perempuan Tonsea, jauh sebelum Raden Ajeng Kartini, “far before” Kartini.

Hal ini menunjukkan bahwa sistem “patrilineal” tidak mendominasi di Minahasa, bahkan terkesan didominasi adat “matrilineal”.

Salah satu contoh dalam satu rumah tangga, orang Minahasa terlihat, keluarga pihak istri lebih dekat dari pada keluarga atau saudara pihak suami. Sistem kekeluargaan, kekerabatan, saudara, di pihak istri lebih condong dekat dari pada di pihak suami.

Sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan di pihak istri jauh lebih rapat dan meresap diantara para seketurunan menurut garis ibu.

Hal seperti ini, menyebabkan tumbuhnya konsekuensi yang lebih besar dari pada sistem “matrilinealitas” atau kerap dipendekkan dengan sebutan “matrilineal” yang sudah membudaya di masyarakat.

Hal ini juga tergambar, jika terjadi perceraian dalam perkawinan, maka kebanyakan dalam putusan Pengadilan Negeri, yang berhak untuk mendapatkan hak asuh adalah perempuan. Dengan sendirinya hak kekuasaan berada di tangan “mater” atau pihak perempuan.

Orang dilahirkan dari anak perempuan Minahasa, walaupun dibesarkan di tanah rantau, satu saat anak itu rindu untuk datang ke kampung ibunya. Ibarat pribahasa “Jauh di mata dekat di hati”, “walaupun tidak bertemu karena dipisahkan oleh jarak, namun tetap terkenang dan teringat selalu di dalam hati”.

“Sebuah perenungan”, Prabowo Subianto yang diketahui memiliki ibu berdarah Minahasa dan lahir dari Keluarga Sigar – Maengkom asal Langowan Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara ini, jauh dari Pencapresannya sebagai “Calon Presiden RI, mantan Danjen Kopassus ini tak luput dari kerinduan untuk datang di kampung halaman ibunya.

Profil Patung Schwarz di Langowan Sulut, Berbahan Tembaga Dibangun oleh Prabowo Subianto, bukan hanya dipandang sebilah garis linear, tapi matriks kerinduan primordial untuk ‘menyelami’ diri, dan menjadi perenungan, guna menemukan diri sejati yang otentik sebagai “Tuama Leos”, Tole Minahasa. (*)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *