2-days at luwansa hotel
by: efraim lengkong@ever_green
BUDAYA MALU HARUS DI TUMBUHKAN
SULUT, Identitasnews.id – Kabar tak sedap insiden polisi tembak polisi di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo yang menewaskan Brigadir J tewas dalam vs baku tembak dengan Bharada E, anggota yang ditugaskan mengawal Kadiv Propam menjadi viral di penghujung pekan ini betapa budaya malu diera ini semakin menipis.
Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada pejabat Kementerian, juga auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditambah beberapa Bupati Kepala Daerah menunjukan masih banyaknya ”para tikus yang mengerogoti kesejahteraan bangsa di negeri ini ibarat “penjahat perang” yang membunuh anak bangsa.
Hal semacam ini melukiskan betapa merosotnya budaya malu kita.
Timbul pertanyaan bagaimana mengatasi persoalan korupsi, ancaman disintegrasi, dan radikalisme itu bisa diatasi ?
Hal ini tentunya dapat terwujud jika seluruh anak negeri ini bersepakat untuk menanamkan ulang nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila yang dijadikan sebagai _common platform_ dalam kehidupan bernegara.
Pendekatan yang sekarang ini dimunculkan untuk merevitalisasi Pancasila dengan kondisi kekiniaan ternyata masih sebatas sebagai jargon-jargon politik yang tak membumi apalagi terserap di kalangan generasi kekinian.
Gagasan-gagasan Bung Karno itulah yang sepatutnya kita renungkan kembali untuk menjawab beragam persoalan masa kini.
Semangat kebangsaan yang disampaikan Bung Karno itu merupakan solusi terhadap persoalan ancaman disintegrasi bangsa. Kemudian, penegasan Bung Karno bahwa Indonesia sebagai negara merdeka tak boleh ada yang miskin.
Sesungguhnya menjadi tantangan besar kita adalah memerangi korupsi yang menjadi penyebab lahirnya kemiskinan di negeri ini. Juga prinsip ketuhanan itu sekaligus menjadi jawaban terhadap munculnya pemahaman radikal.
Lantas dari mana harus dimulai upaya untuk membumikan nilai-nilai Pancasila yang agung tersebut? Meminjam filosofi Samratulangi “Sitou_timou_tomou_tou” (manusia lahir untuk memanusiakan orang lain) masyarakat Sulawesi Utara lebih khusus “Tou_minahasa” dikenal dengan jargon “Torang_Samua_Basudara” yang dikemudian hari menjadi “Budaya_Nyiur_Melambai”.
Budaya malu bahwa yang tinggi, adalah rasa malu terhadap diri sendiri. Artinya, menanamkan rasa malu untuk berbuat kesalahan menjadi hal paling utama untuk menanamkan nilai-nilai yang termaktub ‘state’ di dalam Pancasila.
Untuk melihat keteladanan bersikap malu ini sebenarnya kita bisa mencontoh pada masyarakat Jepang. Di Jepang menjadi sebuah aib besar jika seorang pejabat negara melakukan praktik korupsi. Saat seorang pejabat negara itu baru saja disebutkan namanya sebagai pihak terduga, maka para pejabat publik itu langsung meletakkan jabatannya. Darimana sikap _gentlement_ semacam itu tumbuh? Jawabnya sederhana: mereka memiliki budaya malu yang sudah mengakar!
Filosofi Plato yang menganjurkan rasa malu terhadap diri sendiri itu bisa menjadi solusi ampuh untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara besar di kemudian hari. Untuk menumbuhkan budaya malu itu, institusi pendidikan sebenarnya memiliki peran cukup penting dan strategis.
Proses penanaman nilai ini sepatutnya didorong untuk melahirkan diskursus-diskursus kritis yang bersifat kekinian.Hadirkan di ruang-ruang pendidikan, budaya malu dan ini harus didukung oleh para pemegang otoritas untuk berani menghadirkan keteladanan bersikap malu layaknya para pemimpin di Jepang yang berani “harakiri” karena malu.
Fenomena harakiri mewarnai suatu budaya malu yang bertanggung jawab contohnya, seorang pejabat negara baru saja disebutkan namanya sebagai pihak terduga (belum tersangka) maka pejabat publik itu langsung meletakkan jabatannya.
Tradisi dan sikap gentlement itu terjadi karena mereka memiliki budaya malu yang sudah mengakar!
Filosofi Plato yang menganjurkan rasa malu terhadap diri sendiri itu bisa menjadi solusi ampuh untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara besar di kemudian hari. Tumbuhkan dan tanamkan budaya malu itu, dalam keluarga masing, institusi pendidikan, kepolisian, partai politik, hadirkan di ruang-ruang pendidikan, budaya malu dan di-support oleh pemegang otoritas untuk berani menghadirkan keteladanan, “malu” layaknya para pemimpin di Jepang.”Pekik” budaya malu inilah yang harusnya difundamental untuk ditumbuhkan di Indonesia dan di pekikkan.
Saya percaya dan menjadi salah satu cara membumikan Pancasila sebagai jalan “way of life” jalan keluar sekaligus common platform kesepakatan bersama dalam racikan yang tepat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dinegeri yang bermandikan susu dan madu. (*)