MANADO, identitasnews.id – Pemberitaan di salah satu media Online yang mengatakan, apa yang di perbuat sudah seharusnya dipertanggungjawabkan sesuai hukum, dari sumber yang kurang “berkompeten” seraya menambahkan dirinya sudah memantau jauh sebelumnya adanya dugaan korupsi oleh oknum petinggi di PDAM Duasudara Kota Bitung dan berakhir dengan di vonis 10 Tahun penjara ditanggapi dingin oleh Kuasa Hukum terpidana Soeharto Sulengkampung SH.
Soeharto mengatakan bahwa benar sudah ada putusan hakim dalam Perkara Tipikor No.20/Pid.Sus-TPK/2022-PN.Mnd, kasus korupsi Hibah Air Minum di PDAM Kota Bitung Tahun Anggaran 2017 dan 2018. Dimana klain RJL dihukum 10 tahun penjara juga ditambah membayar uang pengganti sebesar Rp 14 Miliar dengan subsider 4 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 4 bulan.
Kuasa hukum RJL dalam penjelasnya mengatakan;
“Pertamanya bahwa putusan pengadilan, khususnya hakim dalam memeriksa kemudian memutus, harus kita hormati karena itu namanya putusan”.
Oleh karena itu di dalam proses peradilan pidana itu kan ada ditempuh beberapa tahapan, termasuk upaya hukum.
Jadi jangan sama sekali ada pikiran bahwa setelah ada Putusan Pengadilan langsung ditafsir bahwa itu sudah benar, tapi kita harus melihat fakta yang terungkap dalam persidangan.
Justru karena itu yang harus kita lihat bahwa berharganya suatu putusan itu dilihat dari pola pertimbangan hakim itu, apakah pertimbangan hakim itu dia mempertimbangkan secara obyektif, secara professional di dalam letak kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka yang pada akhirnya hakim tidak hanya bertanggung jawab pada hukum Negara dan juga masyarakat, tapi lebih dari pada itu juga bertanggung jawab pada Tuhan.
Justru karena itu kalau misalnya dipertimbangkan adalah hal-hal yang misalnya tidak sesuai dengan keadaan fakta, ada pertanggungan jawab, selain pertanggungan jawab pada hukum, dia akan lebih bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena itu kita berharaplah bahwa hakim di dalam meletakkan suatu putusan itu harus dibarengi dengan pertimbangan yang akurat, teristimewa menyangkut bukti.
Jangan hanya saja melihat kepada keadaan-keadaan yang pembuktian yang sesuai dengan apa yang Jaksa letakkan di dalam dakwaan maupun tuntutan.
Harus pada kebalikan sebab itu adalah prinsip untuk menghormati hak asasi rakyat dalam hal ini adalah tersangka.
Karena itu, “jangan kita membuat suatu berita bahwa seakan-akan menuduh bahwa betul orang ini sudah terbukti bersalah, karena ini putusan belum inkrah”. tegas Soeharto.
Justru karena itu yang diharapkan karena ini masih ada upaya banding siapa tahu, “Hakim Pengadilan Tinggi kan bisa memutuskan lain”.
Andainya dalam tingkat banding hakim mempertimbangkan secara akurat yang pada versi, misalnya dia mengikuti versi jaksa, bisa saja kan pada kebalikan misalnya dia mengikuti versi penesehat hukum, bisa saja diputus bebas.
Apalagi ini perkara korupsi, kadangkala tendensinya para hakim yang kelihatannya kalau korupsi itu harus dihukum, padahal semata-mata tidak demikian.
Kalau mau menghukum kan harus mempertimbangkan unsur dari pasal itu, dibuktikan secara secara keseluruhan.
Misalnya apakah dia merugikan keuangan Negara, baik yang dilakukan oleh diri sendiri, orang lain atau korporasi harus dibuktikan berapa besarnya itu masing-masing bertambah harta kekayaannya, diperkaya mereka itu, dalam rangka apa?
Penentuan tentang kualitas penghukuman, berapa dia harus dihukum.
Kemudian menyangkut uang pengganti. Nah yang justru karena itu yang sangat-sangat menyakitkan kalau misalnya dari awal karena berubahnya tentang pidana korupsi, khususnya pasal 2 dan pasal 3 yang dahulu merupakan delik formil, sekarang menjadi delik materil.
Delik materil harus ada kerugian keuangan Negara, dan ditentukan siapa yang melakukan itu, siapa yang hartanya bertambah. Nah, kalau seandainya tidak dibuktikan, apalagi pemeriksaan BPKP kalau misalnya tidak dilakukan secara standar pemeriksaan, itu akan menyengsarakan orang banyak.
Nah, didalam perkara ini dikatakan total loss. Total loss itu kan berarti fiktif. Ataupun misalnya ada hal-hal yang naïf selain fiktif-fiktif itu, tapi kalau misalnya kenyataaannya dahulu pemasangan cuma sekitar dua ribuan kini menjadi sembilan ribu, ada Yurisprudensi tetap MA di dalam perkara korupsi.
Bahwa pertamanya bahwa orang bisa dibebaskan kalau Negara tidak dirugikan, memperkaya diri sendiri dan tidak diuntungkan, kepentingan masyarakat terlayani.
Nah di dalam perkara ini kan kelihatannya jadi 9000 (sembilan ribu) sambungan atau beberapa puluh ribu ini, penambahan untuk keuangan ini berkembang banyak sekali, berarti kepentingan masyarakat terlayani.
Nah jangan mengabaikab hal -hal seperti itu, Justru itu dikatakan bahwa seorang hakim itu akan sangat dihargai melalui pertimbangannya yang sangat akurat. Kata Sulengkampung. (ever_green)