Tembok RSUD di Jalan Umum Berstatus Tanah Negara, jadi Tembok Ratapan bagi Keadilan Masyarakat

Catatan : Vebry Tri Haryadi, Praktisi Hukum, PH Masyarakat Penggugat

KASUS Sambo tidak hanya menjadi perhatian publik di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melainkan eksklusif bagi masyarakat. Sehingga bagi saya sebagai praktisi hukum, advokat di Sulawesi Utara menilai
bahwa sebenarnya masyarakat jangan hanya mengeksklusifkan kasus Sambo dkk tersebut, karena masih banyak perkara seperti tindak pidana korupsi, narkotika, kasus mafia tanah dan lainnya, yang membutuhkan penanganan sama seriusnya, serta penting bagi penegakan hukum dan keadilan itu sendiri.

Namun, baiknya masyarakat ikut berperan dalam mengawal maupun mengawasi semua perkara yang menjadi perhatian publik, baik perkara kejahatan luar biasa, maupun perkara lainnya mengenai kebijakan pemerintah/penguasa atau kepala daerah yang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakatnya.

Saat ini saya tidak akan membahas mengenai vonis Sambo Cs tersebut, melainkan perkara pembangunan tembok di jalan umum berstatus tanah negara yang terkoneksi dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kotamobagu, di kecamatan Pobundayan, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kota Kotamobagu, Provinsi Sulawesi Utara.

Sungguh miris bagi masyarakat disana. Saya turun langsung menyaksikan perjuangan mereka menolak pembangunan tembok pada bagian kiri dan kanan jalan umum tersebut dengan status tanah negara yang tadinya merupakan tanah mereka dengan status hak milik kemudian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) untuk jalan umum dengan status tanah negara.

Sejak tahun 2020 warga di lokasi jalan umum tersebut menolak proyek pembangunan tembok RSUD oleh Pemerintah Kotamobagu melalui pihak RSUD Kotamobagu dengan anggaran Rp.900.000.000.,- (sembilan ratus juta rupiah), akan tetapi di tahun 2022 pada bulan November, proyek tersebut tetap dilaksanakan walau masyarakat yang memiliki rumah, dan berbagai usaha disana menolak proyek itu.

Tak pelak, untuk membungkam penolakan puluhan masyarakat yang dirugikan dengan proyek dengan dugaan melawan hukum itu, pihak RSUD Kotamobagu melibatkan pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) Kodim 1303 Bolmong sebagai pelaksana proyek yang diberi nama proyek swakelola.

Padahal selama ini masyarakat yang menolak tembok yang mereka sebut sebagai ‘Tembok Derita’ sudah membawa aspirasi mereka kepihak DPRD Kotamobagu sejak awal wacana adanya pembangunan tembok itu di tahun 2020, dan telah dilakukan beberapa kali hearing atau rapat dengar pendapat.

Tetapi apa lacur ? Ternyata hearing di DPRD Kotamobagu terhadap fungsi pengawasan yang melekat kepada para wakil rakyat tersebut, tidak mendapatkan jawaban yang berpihak kepada masyarakat. Hal ini dibuktikan bahwa para legislator penghuni gedung rakyat itu sudah mati nuraninya. Pasalnya, rekomendasi dari hasil hearing itu pun tak pernah ada. Malah, anggaran terhadap proyek ‘tembok derita’ itu diketuk tanpa lagi mempertimbangkan segala masukan masyarakat penolak ‘tembok derita’, atau wakil rakyat sudah tak punya kepekaan lagi untuk berpihak kepada masyarakat yang seharusnya mendapat pembelaan atau setidaknya fungsi pengawasan mereka kepada pihak eksekutif/Walikota Kotamobagu bisa efektif, dan bukan hanya aktif dalam fungsi budgeting atau mengenai anggaran saja. Sangat miris kinerja para wakil rakyat itu.

Kepekaan lainnya yang dipertanyakan, saya tujukan kepada Walikota Kotamobagu pilihan rakyat ini. Sejak tahun 2020 ketika ada penolakan masyarakat atas ‘tembok ratapan’, sebagai pemimpin yang baik seharusnya dapat turun untuk mendengarkan secara langsung keluh kesah masyarakat disana, bukan kemudian malah memaksakan proyek tersebut diatas tangisan masyarakatnya, apalagi dengan pelaksana proyek pihak TNI yang seakan dibenturkan dengan masyarakat. Sungguh sangat miris !

Sehingga dengan telah dibangunnya ‘tembok derita’, saya mendampingi masyarakat terzalimi dengan melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Kotamobagu untuk mendapatkan keadilan atas proyek ‘tembok derita’ yang telah mengabaikan masyarakat disana atas proyek yang melawan hukum itu, namun dengan tak elegan walikota dan pihak RSUD menyebutkan sebagai proyek atas kepentingan umum. Wah, mari kita uji atas kepentingan umum yang disebut para pihak Tergugat, Direktur RSUD, Walikota Kotamobagu, Dandim 1303 Bolmong, Lurah Pobundayan dan pihak lainnya itu seperti diungkapkan dalam mediasi di Pengadilan Negeri Kotamobagu, atau malah sebaliknya telah melakukan perbuatan melawan hukum seperti materi gugatan dengan tuntutan kerugian materil dan immaterial Rp.10.702.300.000,- (sepuluh miliar tujuh ratus dua juta tiga ratus ribu rupiah).

Setelah tahapan mediasi gagal, pada tanggal 21 Februari 2023 akan dilanjutkan dengan agenda sidang pada pokok perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang kami layangkan. Ini babakan dalam menguji keadilan dalam materi hukum gugatan tersebut. Saya tidak akan panjang lebar membahas soal materi gugatan kami, melainkan pandangan saya mengenai keaktifan masyarakat, pers, Ormas dalam mengawasi segala proses persidangan perkara-perkara yang berhadapan antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini harus menjadi eksklusif bagi masyarakat dan elemen-elemen yang ada, antara lain Pers dan medianya, LSM, Ormas dan pihak lainnya dalam bersama mengawal keadilan bagi masyarakat.

Saya selama menjalani sebagai Praktisi Hukum, Advokat begitu paham setiap episode dari proses penegakan hukum, kadang merasa pasti menang atau benar tapi putusan yang ada malah sebaliknya. Dan itulah dinamika dalam berjuang untuk keadilan bagi masyarakat.

Hal itu merupakan cara penegakan hukum yang harus dipahami. Bahwa dalam proses penegakan hukum untuk keadilan, kebenaran materiil yang sejatinya harus dipahami. Hakim juga mempunyai independensi dan kewenangan sesuai dengan UU No. 48/2009 Pasal 5 yang mana hakim dan hakim konstitusi wajib menggali nilai hukum dan nilai keadilan di masyarakat. Sehingga nantinya apapun putusan hakim tetap kami menghormatinya.

Walaupun ada pertentangan di masyarakat terkait putusan hakim dan ada yang tidak bersepakat maka keputusan hakim itu tidak bisa batal begitu saja. Keputusan itu tetaplah demikian, tinggal mekanisme upaya hukum banding. Dan demikianlah perjuangan untuk memperoleh keadilan itu.

Kita tidak boleh mengintervensi. Jawaban ini terkesan klise. Di sisi lain, masyarakat juga berhak mengungkapkan, bukan berarti yang boleh berbicara terkait putusan yang ada hanya anak fakultas hukum, para praktisi hukum, karena sejatinya keadilan itu untuk masyarakat. Justice for all. Keadilan merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar bagi semua orang.

Harapan Saya, kiranya perkara ‘Tembok Derita’ yang telah merugikan masyarakat benar-benar mendapat keadilan sebagaimana mestinya, dan Pers, LSM, Ormas serta masyarakat lainnya bisa mengawal jalannya proses persidangan yang ada. Sehingga proses penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya dan keadilan bisa diraih. Semoga (*)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *