“NURANI KEADILAN SERING DIKALAHKAN KARENA PENGARUH UANG DAN JABATAN”
catatan: efraim lengkong, Pengurus “Jejaring Panca Mandala Mapalus Sulawesi Utara (JPM2 – SULUT) Jaring, Badan Pembinaan Idiologi Pancasila Republik Indonesia (BPIP – RI)
Upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di pelataran Monumen Nasional (Monas), Kamis (1/6/2023), ini mengambil tema ‘Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global’
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meyakini bahwa pancasila memiliki peran penting dalam menghadapi krisis dan dinamika global.
“Semua itu pondasinya adalah ideologi Pancasila yang diwariskan oleh presiden pertama Ir Soekarno”.
Fenomena penangkapan para hakim oleh KPK Mengingatkan, kita untuk lebih memahami dan menjiwai Pancasila sebagai idiologi bangsa yang mampu mengajarkan “karakteristik bangsa agar tidak terjebak dalam pusaran para “mafia hukum”.
Tindak pidana korupsi saat ini menjadi ancaman terhadap nilai-nilai Pancasila. Lambat laun perkembangan korupsi dapat merusak mentalitas bangsa terlebih bagi generasi penerus. Praktik mafia peradilan tidak sesuai dengan sila ke 2 dan sila ke 5. Para mafia peradilan, para koruptor tersebut, menggerogoti karakteristik Pancasila dan sudah pastinya mereka tidak beradab. Praktik mafia peradilan mengancam jati diri Pancasila dengan mengambil hak orang lain, hal ini membuat keadilan sosial sulit terpenuhi.
Berdasarkan data KPK, selama periode 2010-2022 sudah ada 21 hakim yang tertangkap melakukan tindak pidana korupsi.
Pada awal 2023 bangsa Indonesia diguncang, KPK menangkap (dua) 2 hakim agung terkait kasus suap jual beli perkara, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh. Ditambah 3 hakim dan 4 PNS-nya, menambah deretan panjang hakim – hakim yang ditangkap.
Dengan ditangkapnya hakim – hakim yang menerima suap, Indonesia dapat disebut sebagai negara gagal (Failed State),” Seperti apa yang dikatakan Saiful Bahri Rumah Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar (26/7/2015) ‘detikNews’.
Hakim-hakim yang tertangkap diantaranya RA Harini Wijoso (mantan hakim PT Yogyakarta), Syarifuddin Umar (hakim PN Jakarta Pusat), Ibrahim (hakim PTUN Jakarta), Imas Dianasari (hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung),
Heru Kisbandono (hakim Pengadilan Tipikor Pontianak), Kartini Marpaung (hakim Tipikor Semarang), Setyabudi Tejocahyono (Wakil Ketua PN Bandung), Ramlan Comel (hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung), Pasti Serefina Sinaga (hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Bandung), Asmadinata (hakim PN Semarang), Pragsono (hakim PN Semarang), Akil Mochtar (hakim konstitusi/Ketua MK), Tripeni Irianto Putro (Ketua PTUN Medan), Amir Fauzi (hakim PTUN Medan), Dermawan Ginting (hakim PTUN Medan), Janner Purba (hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu), Toton (hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu), Patrialis Akbar (hakim konstitusi), Dewi Suryana (hakim PN Bengkulu), Sudiwardono (hakim PT Manado), Wahyu Widya Nurfitri (hakim PN Tangerang), Merry Purba (hakim ad hoc Tipikor Medan), Wahyu Widodo (hakim PN Jaksel), Irwan (hakim PN Jaksel)
Potret buruk dari para oknum hakim yang dipertontonkan, mulai dari Pengadilan Negeri sampai di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi membuat kepercayaan masyarakat pencari keadilan sirna bagai hilangnya si embun pagi. Rontoknya tingkat kepercayaan masyarakat ‘public trust’ kepada lembaga Peradilan se akan hilang ditiup angin padahal lembaga peradilan tempat masyarakat mencari keadilan. Hilangnya kepercayaan tersebut bukan hanya pada masyarakat Indonesia, tetapi sampai kepada masyarakat Internasional. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Kobayashi Kazuhiro
dalam rangkaian training ‘Study for the Amendment to the Law’ di Osaka, Jepang, yang dilaksanakan pada 12-22 Februari 2017.
Advokat senior Kobayashi Kazuhiro mengaku sangat mengkhawatirkan tingkat korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia membuat para pemilik modal masih ragu menanamkan investasinya di Indonesia. “Bahkan ada hakim yang menerima suap,” kata Kobayashi mengawali diskusinya dengan tim delegasi Indonesia.
Maraknya mafia peradilan 2013 – 2023, menjadi bukti bahwa “kita gagal” membangun/membentuk karakter manusia Indonesia, “Nation and character building”. Potret buruk dari peradilan yang semestinya jujur dan adil menjadi salah satu penyebab gagalnya bangsa kita dalam membangun, membentuk karakter manusia Indonesia, “nation and character building” menjadi bangsa yang memiliki kepribadian keadilan dan kepatutan, berpedoman pada Pancasila gagal, sebagai mana yang dikatakan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki.
Menurutnya, mafia peradilan semakin diperparah karena gagalnya reformasi peradilan sebagai bagian dari reformasi hukum, yakni pelaku utamanya melibatkan aparatur penegak hukum yang masih bermental warisan masa lalu. “Indikasi keterlibatan aparatur negara dalam pusaran mafia peradilan bisa disimpulkan dari sambutan Jokowi di depan kejaksaan yang mengingatkan mereka tidak menjadikan tersangka sebagai sapi perahan aparat. Ini sungguh memalukan,” sesalnya. Masnur Marzuki mengatakan mafia peradilan sudah seperti debu menabur rata di setiap tingkat pengadilan yang pada akhirnya “nurani keadilan sering dikalahkan karena pengaruh uang dan jabatan”.
Apa yang dikatakan Pakar Hukum Tata Negara Masnur Marzuki menimbulkan pertanyaan ” Apakah benar mafia peradilan sudah seperti debu menabur rata di setiap tingkat pengadilan, termasuk di Sulawesi Utara lebih khusus Pengadilan Negeri yang berada di tanah Toar Lumimuut.
Ada sesuatu yang dialami penulis belum lama ini, saat datang menghadiri sidang putusan disalah satu PN yang ada di wilayah Sulawesi Utara, sambil menunggu sidang putusan dimulai, saya dihampiri oleh seorang pengacara senior yang tidak saya kenal, dia bertanya “om ada urusan apa ? dan saya jawab menunggu sidang putusan, dia memandang saya dengan wajah penuh tanya ” dan berkata ” so smer” ? saya bingung apa maksud dari perkataan pengacara tua ini.
Karena lama menunggu saya menuju kantin di samping PN dalam perjalanan menuju kantin saya berpapasan dengan seorang pengacara yang lebih muda, anehnya PH muda tersebut berkata “om so potas pa dorang” ? pertanyaan ini membuat saya bingung apa makna dari pertanyaan mereka ?.
Sehari setelah gugatan saya di tolak majelis Hakim saya coba mengotak atik berkas gugatan. Setelah membaca berulang ulang saya tidak mendapatkan celah kekurangan dari gugatan tersebut. Kemudian saya membaca berulang kali isi putusan, salah satunya adalah bahwa foto copy surat hasil Laboratorium kriminalistik yang mengatakan ‘non identik’ atau terdapat tanda tangan palsu tidak dapat diterima, karena belum ada putusan pidana. Padahal fakta dalam persidangan dua orang saksi mengatakan ‘pernah melihat hasil laboratorium kriminalistik’, dan dalam dua akta hibah yang diuji ‘terdapat tanda tangan palsu’.
Terkait pertimbangan hakim bahwa belum ada putusan pidana dari almarhumah bertentangan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung, KAIDAH HUKUM: “Peralihan hak atas tanah dinyatakan cacat hukum karena pemalsuan tanda tangan sehingga batal demi hukum jual beli tanah harus dibuktikan melalui pemeriksaan laboratorium kriminologi atau ada putusan pidana yang menyatakan tanda tangan palsupalsu”.
Akhirnya pertanyaan dari kedua orang pengacara yang membingungkan terjawab.
Hakikatnya hukum di Indonesia merupakan suatu sistem, yang terdiri dari komponen-komponen saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.
Ahli sejarawan hukum Amerika, Lawrence M Friedman mengartikan hukum sebagai suatu sistem, dalam operasinya mempunyai tiga elemen yang saling berkaitan yaitu substansi, struktur dan kultur.
A. Substansi hukum
Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku dan penegak hukum pada waktu melakukan perbuatan hukum dan hubungan hukum. Substansi hukum tersebut terdapat atau dapat ditemukan dalam sumber hukum formil.
B. Struktur hukum
Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Fokus perhatiannya adalah pada bagaimana penegak hukum pengadilan, pembuat hukum serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan, apakah sesuai atau justru menyimpang dari mekanisme dan prosedur yang sudah diatur oleh ketentuan formalnya.
C. Kultur hukum
Kultur hukum adalah tuntutan atau permintaan dari rakyat atau pemakai jasa hukum. Tuntutan atau permintaan tersebut lazimnya didorong oleh kepentingan, pengetahuan, pengalaman, ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat atau penilaian mengenai hukum dan institusi penegaknya.
Pada dasarnya hukum mengatur hubungan antar manusia dengan masyarakat, maka ukuran hubungan tersebut adalah keadilan. (*)